ini adalah sebuah cerita dari kisah nyata



Ada seorang pemuda yang kesehariannya ber-aktivitas di sebuah warnet, dengan penghasilan yang hanya cukup buat bertahan hidup. Di usianya yang sudah masuk kepala 3, dia masih belum berani membina sebuah keluarga. Alasannya cukup sederhana, "Jika untuk dimakan sendiri saja kadang masih kasbon di warung sebelah, apa mungkin mampu memberi kehidupan yang layak saat nanti menikah?". Ini adalah pertanyaan yang mungkin hampir memenuhi pikiran seorang lelaki, yang merasa kondisi finansialnya masih kembang kempis. Sehingga ketakutan tak memberikan kebahagiaan, terus bergelayut yang makin membuatnya gundah gulana.

Ada sebuah penyesalan mendalam di hatinya, "Mengapa saat dulu masih dalam kondisi berkecukupan, tak pernah terlintas untuk serius menata masa depan?. Justru pada saat ekonomi mengalami masa amburadul, kesadaran akan pentingnya sebuah keluarga mulai muncul". Penyesalan hanya tinggal penyesalan, sekarang waktunya untuk berani menghadapi kenyataan. Namun karena keinginan dan ketakutan bercampur baur menjadi satu, membuat keberaniannya menyusut dan hanya terpendam di dalam kalbu.

Hari demi hari terlewati, bulan pun berubah silih berganti, hingga tahun pun tak terasa seakan berlari... namun kondisi ekonomi tak juga turut ber-kompromi, yang membuat si pemuda makin tak punya nyali. Hingga suatu ketika, sang ayah dari pemuda itu ingin mengajak bicara dari hati ke hati. Sebuah pernyataan muncul dari sang ayah, "Usia ayah makin tua, tak ada lagi yang paling ayah inginkan selain melihat anak bungsu ayah duduk di pelaminan." Ungkapan itu seperti martil yang menghantam hingga menyesakkan dada, membuat si pemuda hanya terpekur tak mampu menjawab apa². Melihat si anak hanya membisu tanpa terucap satu kata pun, sang ayah bertanya kepada anak bungsunya...

"Apakah kamu belum punya calon pendamping?"
"Punya, yah"
"Apa dia mengulur waktu untuk kamu nikahi?"
"Tidak, yah"
"Lalu mengapa kamu tidak segera menikahinya?"
"Kondisi finansial saya belum mapan, yah"
"Apa dia menuntutmu harus mapan?"
"Tidak, yah"
"Lalu mengapa itu jadi alasanmu?"
"Saya takut tidak bisa membuatnya bahagia, yah"

Mendengar jawaban seperti itu, sang ayah makin mendekat dan merangkul bahu anaknya untuk memberi kekuatan seraya berkata, "Anakku... Kamu tahu kan kalau ayah hanya seorang tukang tambal ban? Kamu tentu bisa mengira² berapa penghasilan ayah, karena kamu sering membantu ayah bekerja. Saat ayah masih bujang penghasilan ayah hanya cukup buat makan, sehingga untuk beli kompresor saja tidak mampu. Ayah juga pernah merasa takut untuk menikah. Namun ayah sangat beruntung, karena memiliki ibumu yang tak pernah menuntut ayah harus mapan. Dan kini kamu bisa lihat, meski ayah tetap tidak kaya, namun ayah sangat bahagia punya keluarga hingga bisa merawatmu serta kakak² mu sampai dewasa."

Sambil terus merangkul dan sesekali membelai kepala si anak, sang ayah terus melanjutkan nasehatnya dengan bijak, "Jangan takut menghadapi kehidupan, sepahit apapun itu rasanya. Dan jangan pernah merasa ketika hasilmu hanya cukup untuk dirimu saja, maka tentu takkan cukup untuk dimakan istrimu dan anak²mu kelak. Yakinlah bahwa Allah takkan pernah memberi ujian melampaui kemampuan hamba-Nya. Dia memang tak selalu mengabulkan apa yang kamu minta, tapi Dia akan selalu mencukupi apa yang kamu butuhkan. Percayalah... Rezeki itu kadang tak bisa dihitung dengan matematika. Justru dengan kamu menikah, siapa tahu itu akan menjadi jalan menuju rezekimu yang baru."

Mendengar nasehat dari sang ayah yang cukup bijak, membuat si pemuda itu pun kembali bersemangat. Tekadnya kian bulat untuk segera mengakhiri masa lajangnya dan mempersunting calon pendamping hidupnya. Hingga pada waktu yang telah di tetapkan "20-10-2010", dengan bekal apa adanya si pemuda akhirnya naik ke pelaminan. Meski dengan acara yang ala kadarnya, tanpa hidangan mewah, tanpa resepsi dan hiasan dekorasi, yang terpenting ikrar sehidup semati dan berjuang bersama sang istri untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Tanpa terasa waktu terus bergulir, hampir 5 tahun si pemuda tersebut membina keluarga kecilnya. Kebahagiaan semakin lengkap dengan hadirnya 2 orang putri. Perjalanan awal mengarungi bahtera rumah tangga memang penuh perjuangan, namun pengertian dan dukungan dari sang istri membuat si pemuda lebih kuat menghadapi tantangan. Saat ini kehidupan pemuda itu bersama keluarganya semakin membaik. Secara tidak langsung, kondisi ini telah mematahkan ketakutan yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran pemuda itu pada saat dia belum menikah. Meski tidak kaya raya, namun si pemuda dan keluarga kecilnya sangat bahagia...


* Cerita ini semoga menginspirasi sobat² ku yang saat ini takut menikah, hanya karena merasa belum mapan *
  • ini adalah sebuah cerita dari kisah nyata
  • http://anfalsetyawan.blogspot.com
  • Sabtu, 05 Agustus 2017
  • Tidak ada komentar:
 

0 komentar:

Posting Komentar