ANFAL SETYAWAN

KEBERSAMAAN


READMORE
 

TEMAN DALAM KEGELAPAN

“Bangunlah ,matahari pagi yang cerah telah datang menjemputmu. Ia mengucapkan selamat pagi.”
Aku tersenyum,lalu membuka mataku.Tapi semuanya sama saja.Gelap,tanpa seberkas cahaya pun.Ya,inilah duniaku.Aku berharap,saat pagi datang,aku akan dapat melihat burung-burung yang berterbangan dan tetes embun di atas dedaunan.Itu adalah hal yang biasa bagi anak normal,tetapi merupakan impian bagiku.
Hari ini hari Minggu.Aku tak perlu bersiap-siap berangkat ke sekolah.Aku duduk di meja belajarku,sambil meraba-raba huruf braile yang ada di depanku.Aku lebih senang membaca buku daripada berjalan-jalan.Bukannya karena aku takut tersesat, tapi aku takut kejadian dulu terulang lagi.
Saat aku berjalan-jalan,beberapa anak kecil menghampiriku.Aku dapat merasakan tatapan mereka yang mengejek.Kemudian mereka tertawa dan berteriak
“Orang buta ! Orang buta!”Bahkan mereka melempariku dengan batu-batu kecil.Sejak saat itu,aku lebih suka mengurung diri.
Aku membutuhkan teman hingga akhirnya Liz datang.Aku tak tahu siapa dia .Saat pertamakali mengenalnya,,ia berkata,”Aku ada hanya untuk kamu,Via.Karena itu,aku minta kau tidak mengatakan pada siapapun tentang aku.”
Sejak itulah kami berteman.Liz selalu membangunkanku dengan kata-kata bijaknya.Dan Liz selalu ada saat aku sendirian di dalam kamar.Mama selalu pulang malam.Aku tahu ,mama berusaha keras agar dapat membiayai operasi mataku .Ah,seandainya Papa masih ada. . .
Aku menutup pintu kamar sambil tersenyum .
“Liz. . . . “
“Aku disini.Kau tampaknya sedang bahagia .”
Ya.Tadi mama bilang,Minggu depan aku akan dioperasi.’’
Sunyi.Tidak ada jawaban.”Liz? Apa kau tidak senang?”
“Oh,aku senang.Hanya saja. . . aku takut kau tak akan mengenaliku lagi nantinya .”
“Liz kau tak perlu khawatir.Siapa pun kamu ,dari mana pun asalmu aku tak peduli ,kau adalah sahabatmu.”
“Kau akan berkata lain nanti.Percayalah.”
Aku hendak membuka mulut lagi,Liz tidak mengijinkanku.
“Dunia itu indah .Tapi ingatlah,jangan terjebak oleh keindahan dunia.”
“Liz . . .”  Sunyi.Tak ada jawaban .Ke mana Liz? Dan siapa dia?
Aku terbaring di sebuah ranjang.Suara alat-alat terdengar di telingaku.Aku takut .Kemudian beberapa orang suster dan dokter berbicara,tapi aku tak dapat mendengarkannya lagi .Aku merasa mengantuk .Dan aku pun terlelap.
Aku tak tahu apakah aku dalam keadaan sadar atau tidak .Yang jelas, aku merasa tubuhku begitu ringan .Suasana begitu sunyi.Aku merasa sedikit takut.
“Via ,ini aku Liz ,”tiba-tiba Liz berada di hadapanku.”Jangan takut ,tenanglah sebentar lagi kau akan bisa melihat .Kau akan tahu bagaimana bunga-bunga di taman dan birunya langit ,kau akan menjadi anak yang normal.Aku tahu kau adalah anak yang baik.Jangan lupakan mereka yang pernah senasib denganmu.Ingatlah,betapa sulitnya hidup dalam kegelapan.”
Setelah itu semuanya kembali sunyi.
“Kau sudah siap? Sebentar lagi kau akan bisa melihat .”
“Ya ,Dokter.Aku Cuma terlalu senang.”Aku tertawa kecil.jantungku berdebar kencang.Mama memegang erat tanganku .
Dokter memegang perbanku ,lalu aku mendengar suara gunting.Perbanku mulai dibuka.Aku merasa kepalaku terasa ringan.Berlapis-lapis perban lepas dari kepalaku .
“Bukalah matamu perlahan-lahan . . . aku merasa melihat seberkas cahaya.Lalu ,makin lama semuanya tampak lebih jelas.
Kulihat seorang wanita cantik dengan wajah keibuan .Apakah dia…
“Mama?”
“Oh Tuhan,kau bisa melihat ,anakku . . . “
Mama memelukku erat sekali,aku tahu beliau menangis
“Terima kasih ,Dokter!”
Dokter itu tersenyum.”Berterimakasihlah pada Tuhan ,Via .Tuhanlah yang telah memberimu penglihatan ini.”
Setelah dokter itu pergi dari kamarku.dan aku teringat sesuatu.”Liz . . . .”
“Kau ingin melihat Liz?”tanya Mama mengambil sesuatu dari sebelah tempat tidurku.Dan mataku terbelalak kaget.Sebuah BONEKA…
Di…dia Liz?”
“Ya,dia Liz.Kau sangat menyayangi dia ,kan?Mama tahu kau suka berbicara dengannya.Papamu yang memberikannya sebelum ia meninggal.”
Aku semakin tak percaya.Tiba-tiba kulihat bibirnya bergerak perlahan ,seolah-olah mengatakan selamat tinggal.Apakah ini khayalanku? Bulu kudukku merinding. 



*Penerbit : Penerbitan Sarana Bobo
READMORE
 

ini adalah sebuah cerita dari kisah nyata



Ada seorang pemuda yang kesehariannya ber-aktivitas di sebuah warnet, dengan penghasilan yang hanya cukup buat bertahan hidup. Di usianya yang sudah masuk kepala 3, dia masih belum berani membina sebuah keluarga. Alasannya cukup sederhana, "Jika untuk dimakan sendiri saja kadang masih kasbon di warung sebelah, apa mungkin mampu memberi kehidupan yang layak saat nanti menikah?". Ini adalah pertanyaan yang mungkin hampir memenuhi pikiran seorang lelaki, yang merasa kondisi finansialnya masih kembang kempis. Sehingga ketakutan tak memberikan kebahagiaan, terus bergelayut yang makin membuatnya gundah gulana.

Ada sebuah penyesalan mendalam di hatinya, "Mengapa saat dulu masih dalam kondisi berkecukupan, tak pernah terlintas untuk serius menata masa depan?. Justru pada saat ekonomi mengalami masa amburadul, kesadaran akan pentingnya sebuah keluarga mulai muncul". Penyesalan hanya tinggal penyesalan, sekarang waktunya untuk berani menghadapi kenyataan. Namun karena keinginan dan ketakutan bercampur baur menjadi satu, membuat keberaniannya menyusut dan hanya terpendam di dalam kalbu.

Hari demi hari terlewati, bulan pun berubah silih berganti, hingga tahun pun tak terasa seakan berlari... namun kondisi ekonomi tak juga turut ber-kompromi, yang membuat si pemuda makin tak punya nyali. Hingga suatu ketika, sang ayah dari pemuda itu ingin mengajak bicara dari hati ke hati. Sebuah pernyataan muncul dari sang ayah, "Usia ayah makin tua, tak ada lagi yang paling ayah inginkan selain melihat anak bungsu ayah duduk di pelaminan." Ungkapan itu seperti martil yang menghantam hingga menyesakkan dada, membuat si pemuda hanya terpekur tak mampu menjawab apa². Melihat si anak hanya membisu tanpa terucap satu kata pun, sang ayah bertanya kepada anak bungsunya...

"Apakah kamu belum punya calon pendamping?"
"Punya, yah"
"Apa dia mengulur waktu untuk kamu nikahi?"
"Tidak, yah"
"Lalu mengapa kamu tidak segera menikahinya?"
"Kondisi finansial saya belum mapan, yah"
"Apa dia menuntutmu harus mapan?"
"Tidak, yah"
"Lalu mengapa itu jadi alasanmu?"
"Saya takut tidak bisa membuatnya bahagia, yah"

Mendengar jawaban seperti itu, sang ayah makin mendekat dan merangkul bahu anaknya untuk memberi kekuatan seraya berkata, "Anakku... Kamu tahu kan kalau ayah hanya seorang tukang tambal ban? Kamu tentu bisa mengira² berapa penghasilan ayah, karena kamu sering membantu ayah bekerja. Saat ayah masih bujang penghasilan ayah hanya cukup buat makan, sehingga untuk beli kompresor saja tidak mampu. Ayah juga pernah merasa takut untuk menikah. Namun ayah sangat beruntung, karena memiliki ibumu yang tak pernah menuntut ayah harus mapan. Dan kini kamu bisa lihat, meski ayah tetap tidak kaya, namun ayah sangat bahagia punya keluarga hingga bisa merawatmu serta kakak² mu sampai dewasa."

Sambil terus merangkul dan sesekali membelai kepala si anak, sang ayah terus melanjutkan nasehatnya dengan bijak, "Jangan takut menghadapi kehidupan, sepahit apapun itu rasanya. Dan jangan pernah merasa ketika hasilmu hanya cukup untuk dirimu saja, maka tentu takkan cukup untuk dimakan istrimu dan anak²mu kelak. Yakinlah bahwa Allah takkan pernah memberi ujian melampaui kemampuan hamba-Nya. Dia memang tak selalu mengabulkan apa yang kamu minta, tapi Dia akan selalu mencukupi apa yang kamu butuhkan. Percayalah... Rezeki itu kadang tak bisa dihitung dengan matematika. Justru dengan kamu menikah, siapa tahu itu akan menjadi jalan menuju rezekimu yang baru."

Mendengar nasehat dari sang ayah yang cukup bijak, membuat si pemuda itu pun kembali bersemangat. Tekadnya kian bulat untuk segera mengakhiri masa lajangnya dan mempersunting calon pendamping hidupnya. Hingga pada waktu yang telah di tetapkan "20-10-2010", dengan bekal apa adanya si pemuda akhirnya naik ke pelaminan. Meski dengan acara yang ala kadarnya, tanpa hidangan mewah, tanpa resepsi dan hiasan dekorasi, yang terpenting ikrar sehidup semati dan berjuang bersama sang istri untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Tanpa terasa waktu terus bergulir, hampir 5 tahun si pemuda tersebut membina keluarga kecilnya. Kebahagiaan semakin lengkap dengan hadirnya 2 orang putri. Perjalanan awal mengarungi bahtera rumah tangga memang penuh perjuangan, namun pengertian dan dukungan dari sang istri membuat si pemuda lebih kuat menghadapi tantangan. Saat ini kehidupan pemuda itu bersama keluarganya semakin membaik. Secara tidak langsung, kondisi ini telah mematahkan ketakutan yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran pemuda itu pada saat dia belum menikah. Meski tidak kaya raya, namun si pemuda dan keluarga kecilnya sangat bahagia...


* Cerita ini semoga menginspirasi sobat² ku yang saat ini takut menikah, hanya karena merasa belum mapan *
READMORE